Hujan
punya cerita tentang kita. Hujan mengerti tentang betapa aku merindukanmu,
betapa aku mengharapkanmu kembali ke sampingku. Dan hujan pula yang tahu
seberapa besar aku merindukan kisah denganmu.
“Dit,
kamu tau Ara mau pindah?” pertanyaan Regi spontan membuatku kaget.
“Nggak
lucu tau bercandamu,” kataku.
“Serius
Dit, dia mau pindah ke Palembang. Aku aja baru tau dari Rena tadi. Katanya lusa
dia berangkat,” Regi mencoba meyakinkanku.
‘Kok
dia nggak cerita sama aku yah?’ Tanyaku pada diri sendiri.
“Thanks
ya Gi infonya, aku mau ke rumah Ara dulu,” Aku kemudian bergegas mengayun
kencang sepedaku ke salah satu sudut di kompleks perumahan itu. Tujuanku cuman
satu, menanyakan kebenaran kepada Ara.
Aku
dan Ara sudah kenal dekat sejak kecil. Kemanapun kami selalu bersama. Bisa
dibilang kami tak bisa terpisahkan. Dimana ada Ara di situ juga ada aku, begitu
pun sebaliknya. Aku tak pernah membiarkan anak-anak kompleks yang nakal itu mengganggu
Ara. Aku hanya ingin melindunginya, dimana pun dia berada. Bahkan orang tuaku
dan orang tua Ara sangat senang dengan keakraban kami. Ayah dan Ibu Ara selalu
mempercayai keselamatan anaknya padaku. Saat mereka sedang dinas ke luar kota,
Ara selalu menginap di rumahku. Ibuku pun senang dengan kehadiran Ara di hidup
kami. Maklumlah, selama ini dia mendambakan anak perempuan. Setelah ada Ara,
ibuku selalu menganggap bahwa dia adalah bagian dari keluarga kami, sebagai
adikku tentunya.
“Araa,”
panggilku sembari menyandarkan sepedaku di tembok rumahnya.
Aku
langsung masuk ke rumah tanpa permisi. Yaa, ini sudah seperti rumah keduaku.
Orang tua Ara juga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri, terlebih setelah
ayahku meninggal, ayah Aralah yang menggantikan sosok ayahku.
“Kenapa
Dit?” kudengar suara dari belakang rumahnya. Kualihkan tujuanku ke taman di
belakang rumah Ara.
“Jelasin,
apa yang kamu sembunyiin dari aku?” tanpa basa-basi aku langsung bertanya
padanya.
“Sembunyiin
apa sih Dit? Aku nggak sembunyiin apa-apa,” terlihat ekspresi Ara mulai
berubah.
“Kamu
mau pindah kan? Iya kan? Kenapa kamu nggak mau ngomong ke aku sih Ra?”
“Maaf
Dit,” Ara menunduk. Perlahan kulihat air mata membasahi wajahnya. “Maaf..”
Aku
berjalan menghampirinya. Kunaikkan wajahnya yang masih menunduk. Kuseka airmata
yang mengalir di pelupuk matanya. Tak tega aku melihatnya menangis, apalagi
untuk melukai perasaannya.
“Maaf,
aku udah bikin kamu nangis. Aku cuman nggak mau kamu bohong sama aku,” Ara
memelukku. Aku terdiam.
“Maafin
aku Dit, aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku cuman takut aku nggak bisa
ninggalin kamu,”
“Tapi
Ra. Aku bakal jauh lebih sedih kalau disaat terakhir sahabatku di samping aku, justru
aku nggak ngasih kenangan manis buat dia. Udah yaa, jangan nangis lagi,”
Terlihat
awan mendung mulai menyelimuti langit. Titik demi titik air mulai berjatuhan
membasahi bumi. Semakin deras. Kuajak Ara untuk memasuki rumah.
“Ujan
Ra, masuk yuk,”
“Nggak
mau ah Dit, udah lama kita nggak ujan-ujanan. Aku pengen ngelewatin hujan ini
bareng kamu. Belum tentu kan kita bisa bareng kayak gini lagi?”
“Yaudah
yuk aku temenin,”
Kami
berlari menerjang hujan. Bermain-main bersama percikan hujan. Terlihat Ara
tertawa tanpa beban, ‘ah aku pasti akan sangat merindukan tawanya,’ gumamku. Yaa,
kita sama-sama menyukai hujan. Mencintai setiap titik yang terlahir dari awan
mendung.
***
Sebelum
matahari mulai menampakan wujudnya, aku telah duduk di halaman rumah Ara. Hari
ini saatnya aku dan dia berpisah. Aku tak ingin melewatkan waktu berharga dengan
sahabatku.
“Mau
kemana kita hari ini?” tanya Ara bersemangat.
“Ke
trampolin aja yuk,”
“Okee,
ayo kita cabut,” Ara berlari meninggalkanku.
Aku
dan Ara duduk di atas trampolin. Kita sama-sama terdiam. Masih dengan lamunan
masing-masing. Tiba-tiba suara Ara mengagetkanku.
“Nyanyiin
aku lagu dong Dit,”
“Males
ah,”
“Tega
nih? Ayolah,” bujuk Ara.
“Iya
deh, aku ambil gitar dulu ya,”
Aku
berlari memasuki rumah. Tak berapa lama aku kembali dengan gitar ditanganku.
Berjanjilah
wahai sahabatku
Bila
kau tinggalkan aku
Tetaplah
tersenyum
Meski
hati, sedih dan menangis
Kuingin
kau tetap tabah menghadapinya
Terputar
kembali kenangan-kenangan indah bersama Ara. Semua kisah sedih dan senang yang
kita lewati bersama.
Bila
kau harus pergi
Meninggalkan
diriku
Jangan
lupakan aku...
Semua
waktu yang telah kita lewati berdua. Canda dan tawanya. Senyum dan tangisnya.
Aku pasti akan sangat merindukannya.
Semoga
dirimu di sana
Kan
baik-baik saja
Wahai
sahabatku
Di
sini aku kan selalu
Rindukan
dirimu
Wahai
sahabatku....
Aku
terdiam. Kulihat butir halus muncul perlahan di pelupuk matanya.
“Kamu
nggak apa-apa kan?” tanyaku.
“Dit,
tetep inget aku yaa,” ucap Ara lirih.
“Pasti
lah. Aku bakal tetep inget sama kamu, sahabat sejatiku,”
Kuraih
sebuah kotak yang terletak di sampingku. Kuberikan kotak kecil itu untuk Ara.
“Nih,
aku ada kenang-kenangan buat kamu, biar kamu inget aku terus,”
“Liontin?”
tanya Ara heran, setelah dia membuka hadiahku.
“Iya,
ini sepasang. Pasangannya ada di aku. Biar kita yakin kalo suatu saat nanti
kita bakal ketemu lagi. Aku pakein ya?” ucapku. Ara mengangguk.
“I
will miss you so much Radit,” Ara menunduk sedih.
“Me
too Ara. Jaga diri baik-baik yah,”
Diiringi
dengan hujan, perpisahan pun tak terelakan. Ara telah pergi meninggalkan aku
dan semua tempat kenangan kita.
“Aku
pasti bakal balik lagi ke sini, tungguin aku yah..” teriak Ara dari kejauhan.
Aku hanya tersenyum. Raganya kini tak lagi bersamaku. Aku dan dia kini telah
terpisah.
Awan
hitam masih terus muncul, membuat sang bintang tak juga menampakkan sinarnya.
Aku masih duduk melamun di trampolinku. Membiarkan hujan mengguyur ragaku.
“Radit
ayo masuk nak, mau sampai kapan kamu di sini?” Suara di belakangku
mengagetkanku.
“Mah,
Radit nggak bisa pisah dari Ara,”
“Udah
nak, kalo Tuhan ijinin pasti kalian ketemu lagi. Ayo masuk, kamu udah basah
kuyup nih,”
“Iya
mah,”
***
3
tahun berlalu. Kini aku duduk di bangku SMA, di salah satu sekolah ternama di
kotaku.
Aku
tumbuh menjadi pemuda yang cuek. Tak peduli dengan gaya hidupku, aku tetaplah
nyaman dengan apa yang ada didiriku. Tak pernah ada yang mengusik hariku,
hingga seseorang datang mengubah kehidupan tenangku.
Koridor
sekolah nampak lengang, aku masih terus berlari menyusurinya. Jam pertama di
kelasku sekarang adalah Matematika, dan aku sukses berangkat terlambat karena
semalaman insomniaku kambuh. Semenit saja aku terlambat masuk kelas, habislah
kesempatanku mengikuti pelajaran itu, karena sang guru sangat disiplin soal
waktu.
Brukk.
Seseorang menabrakku. Aku langsung bangkit dan berniat lari menuju kelas, namun
terhalang oleh perbuatan orang yang menabrakku itu.
“Seenaknya
aja kamu main pergi-pergi. Udah nabrak bukannya minta maaf malah kabur!”
“Brisik
loe! Gue lagi telat nih. Salah loe sendiri jalan nggak liat-liat!” bentakku.
“Kamu
tuh yang main nabrak-nabrak aja!”
“Minggir
loe! Gue udah telat nih!”
“Nggak
mau! Minta maaf dulu!”
“Yaudah
gue minta maaf, minggir!” Aku langsung lari meninggalkan orang tersebut. Sial!
Umpatku dalam hati. Pasti aku tak bisa mengikuti pelajaran pagi ini. Gara-gara
ulah orang itu.
Namun
dewi fortuna sedang berpihak padaku. Sampai di kelas tak terlihat tanda-tanda
guru killer itu berada di kelas. Kulangkahkan kaki menuju bangkuku.
“Kemana
aja loe? Jam segini baru nongol. Untung tuh guru belum masuk,” ucap salah
seorang temanku.
“Insomnia
gue kambuh nih. Mana tadi acara tabrakan sama orang gila lagi!”
“Siapa
Dit?” tanyanya lagi.
“Tau
tuh. Anak baru kali,”
“Cewek
apa cowok?”
“Cewek,”
“Cantik
nggak?”
“Kepo
banget sih loe!” bentakku kesal.
Sesaat
kelas hening, setelah wali kelasku memasuki ruangan. Terlihat di belakangnya
seorang gadis yang kutabrak tadi. Sial! Umpatku lagi. ‘Kenapa harus sekelas
sama dia sih?’ tanyaku dalam hati.
“Hallo
semua. Namaku Tiara Natasya. Aku pindahan dari Palembang, salam kenal,”
Deg.
Mendadak aku terdiam setelah gadis itu memperkenalkan diri. Tiara? Dari Palembang? Ingatanku memutar pada sosok
di masa laluku. Sahabat kecilku. Mungkinkah dia?
Hujan
mencegahku untuk meninggalkan sekolah. Aku memang sudah tak menyukai hujan
semenjak seseorang meninggalkanku saat hujan. Kulihat Tiara bersandar di tembok
sambil menengadahkan tangannya. Kuhampiri dia.
“Kamu
lagi kamu lagi, males ngeliat!” ucapnya.
“Yee,
siapa juga yang seneng ngeliat loe!” gerutuku.
“Yaudah
sana pergi!”
“Loe
aja sana! Gue ogah! Lagi ujan gede gini juga,” Tiara justru langsung berjalan
diantara rintik hujan yang turun kian deras. Aku kaget. Nekad benar dia.
***
Sebulan
sudah Tiara menjadi siswa baru. Rasa penasaranku tentang Tiara di masa lalu
makin memuncak saat aku tak sengaja melihat kalung yang dia pakai.
“Ra,
kalungnya bagus,” celetukku.
“Apa
sih? Nggak usah cari gara-gara deh,”
“Gue
cuman mau nanya loe beli dimana?”
“Ngapain
nanya-nanya? Ini tuh nggak bakal bisa loe dapetin dimana pun!” Setelah
mengatakan itu, Tiara bergegas meninggalkanku.
“Gue
yakin dia pasti Ara,” ucapku.
Hujan
terus mengguyur Jakarta seharian ini. Lagi-lagi aku enggan beranjak dari
tempatku sampai hujan berhenti.
“Mau
sampai kapan loe di sini? Hujan kayak gini pasti bakalan awet,” aku mencari
sumber suara itu berasal.
“Tiara?
Emm.. Sampai hujannya berhenti lah,” ucapku sambil mengalihkan pandangan ke
arah rintik hujan.
“Udah
gue bilang kan, hujannya bakalan awet. Mending ujan-ujanan aja sama gue,” ajak
Tiara.
“Ogah.
Gue males kena air ujan. Lagian kenapa sih loe tiba-tiba baik gitu sama gue?”
tanyaku penuh selidik.
“Pede
loe! Gue cuman nggak mau aja ngeliat loe lama-lama di sini!” Tiara lagi-lagi
berlari menerobos hujan.
“Sebenernya
siapa sih dia? Kok tiap gue ngeliat dia gue jadi inget Ara yah?”
***
Kulangkahkan
kakiku menuju kantin, rasa lapar ini sudah hampir mencapai puncaknya. Namun,
langkahku terhenti saat aku melihat kerumunan siswa di lapangan.
“Ada
apa sih? Kok rame gitu?” tanyaku pada salah seorang siswa.
“Ada
yang pingsan. Tiara,”
“Tiara?”
ulangku tak percaya. Kuterobos kerumunan itu hingga kudapati seseorang yang
dimaksud. Yaa, memang Tiara yang pingsan. Spontan aku langsung membawanya ke
UKS.
Sejam
berlalu. Tiara tak kunjung sadarkan diri. Sesuai saran dokter, usai insiden
tadi dia langsung dibawa ke Rumah Sakit. Entah kenapa aku menawarkan diri untuk
menunggunya. Seperti ada perasaan yang mengganjal setiap aku melihatnya.
Hujan
terus turun dengan derasnya bersamaan dengan Tiara yang mulai sadarkan diri.
“Kamu
nggak apa-apa kan?” tanyaku khawatir.
“Kamu?”
Tiara nampak bingung.
“Iya
aku, Radit. Tadi kamu pingsan di sekolah, terus di bawa ke sini deh. Sebenernya
kamu sakit apa sih?”
Beberapa
saat Tiara diam. Namun aku tetap menunggu dia memulihkan kondisinya. Kupandangi
dia, sampai lagi-lagi aku teringat pada satu sosok di masa laluku itu.
“Dulu
aku emang sakit. Gagal ginjal. Tapi sekarang udah nggak kok,”
“Kok
bisa?”
“Sebulan
yang lalu ada orang tua yang baik banget ngasih ginjal anaknya buat aku. Dan
untungnya tubuh aku bisa nerima ginjal itu,”
“Kok
bisa ngasih sih?”
“Iyaa.
Anaknya sendiri yang bilang, kalo dia meninggal dia mau donorin apa yang ada di
tubuhnya buat orang yang ngebutuhin,”
“Berarti
yang donorin itu udah meninggal?”
“Yap.
Dia sakit nggak taulah apa namanya, aku lupa. Kita sempet satu rumah sakit, dia
sendiri yang minta ke orang tuanya buat ngasih ginjalnya ke aku. Oh ya, dia
juga dimakamin di Jakarta kok, soalnya dia asli sini,”
“Apa
kamu bilang? Dia asli Jakarta?”
“Iya.
Emang kenapa?” tanya Tiara bingung.
“Namanya
siapa?”
“Sama
kayak aku. Tiara, tapi panggilannya Ara,”
“Nggak
mungkin. Jangan kamu bilang dia Tiara Azizah?” tanyaku tak percaya.
“Iyah.
Kamu kenal?” Tiara tampak bingung.
“Aku...aku...aku
sahabatnya,” ucapku terbata-bata.
“Jadi...Kamu
Radit yang selama ini Ara ceritain?” tanya Tiara tak percaya.
“Cerita
apa?” tanyaku heran.
“Banyaklah.
Yang jelas katanya kamu itu berarti banget buat dia,”
Ruangan
itu kembali hening. Aku tak percaya, sahabat yang selama ini kunantikan,
kutunggu kedatangannya kembali, nyatanya takkan pernah muncul lagi dihadapanku.
Pantas
saja setiap aku melihat Tiara bayang-bayang Ara selalu hadir. Ginjal itu, yaa
ginjal milik Ara lah yang selalu membuatku melihat Tiara sebagai bayangan Ara.
***
Aku
tertunduk lemah, masih memandangi pusara yang mulai kusentuh. Kuraba nisan yang
ada di depanku. Kurasakan gundukan tanah yang sedikit basah ini. Di dalam sini,
di tempat ini, orang yang sangat berarti dihidupku terlelap.
“Radit,”
panggil seseorang di belakangku.
“Tiara?”
“Aku
mau ngasih ini buat kamu,” Tiara memberikan sepucuk surat untukku.
Kuraih
surat itu, kubaca. Butir-butir airmata mulai mengalir. Tangis yang selama ini
tak pernah kuperlihatkan lagi semenjak kepergian Ara 3 tahun yang lalu, kini
memecah saat aku membaca kata demi kata yang tertulis di surat itu.
Dear
Radit,
Apa
kabar? Aku yakin surat ini pasti bakal sampai ke tangan kamu dengan selamat,
tanpa ada lecet sedikitpun. Bener kan? :D
Waktu
kamu baca surat ini, bisa aku pastiin kalo aku udah nggak ada di sisi kamu
lagi. Yaa, sekarang pasti ada Tiara di deket kamu kan? Anggep aja itu aku ya J
Maaf
Radit, aku dateng tanpa ragaku bahkan jiwaku, aku dateng cuman dengan surat
ini. Hidupku udah berakhir Dit, Tuhan udah manggil aku buat pulang lagi ke
sisiNya. Kuatin diri yaa. Maaf aku nggak bisa tepatin janji aku buat bareng
lagi sama kamu, tapi sekarang aku bawain Tiara buat kamu. Dia sama kok sama
aku, sama-sama Tiara J
Maaf
juga ya, aku nggak pernah cerita apa pun tentang penyakitku. Bahkan sampai
sekarang pun aku juga nggak mau kamu tau apa yang aku rasain. Yang jelas aku
sakit, sakit parah kata dokter. Aku harus terus-terusan kemoteraphy. Selama ini
aku diem karena aku nggak mau bikin kamu tambah sedih Dit. Aku pengen kamu
ngeliat aku sebagai Ara yang kuat, semangat, dan sehat.
Dari
dulu sebenernya ada satu hal yang mau aku omongin sama kamu, yaa tapi nggak
pernah bisa aku omongin karena aku sadar aku nggak akan bertahan lama di dunia
ini. Aku sayang kamu, lebih dari sayang seorang sahabat. Sekali lagi aku minta
maaf, buat semua kebohongan yang aku buat ke kamu.
Titip
Tiara ya Dit. Jaga dia seperti kamu jaga aku. Sayangi dia seperti kamu sayangi
aku.
Peluk
cium, Ara
Tik
tik tik. Awan kembali menghitam. Memunculkan kesedihannya kembali. Walau pun
awan mulai menangis, aku masih enggan beranjak dari tempat ini. Aku masih tak
percaya dengan kenyataan yang terjadi.
“Ayolah
Radit, sampai kapan kamu di sini? Hujan makin deras nih,”
“Sorry
Ra,” aku tersadar. Aku mulai beranjak dari tempat itu. Meninggalkan rumah
terakhir Ara.
***
Hujan.
Menyimpan banyak cerita tentang kita. Tentang aku, Ara dan Tiara. Hujan yang
memisahkanku dengan Ara. Hujan yang pertemukanku dengan Tiara. Hujan yang
kembalikan Ara padaku, walau pun tanpa raganya. Hujan pulalah yang satukan aku
dengan Tiara.
“Tuh kan ngelamun lagi!” Tiara setengah
berteriak di dekatku.
“Eh
iya iya, hehe,”
“Dit
Dit liat deh ada pelangi,” Tiara menunjuk ke arah langit.
“Oh
iya, bagus ya?”
“Pastinya.
Selalu ada pelangi setelah hujan dan selalu ada cerita tentang kita dibalik
hujan,”
“Dan
aku nggak akan biarin hujan menghapus cinta kita,” ucapku, kemudian mengacak
rambut Tiara.
“Rrrraaaddiiiiiittttttt....”
teriak Tiara. Aku bangkit dan berlari menjauh dari jangkauan Tiara.
Kini
tawalah yang tercipta. Cintalah yang terasa. Terima kasih hujan, karena kau
telah hadirkan cinta di hidupku.
Aku
tak pernah berharap banyak pada hujan. Yang aku minta hanya jangan sampai hujan
pisahkan lagi aku dengan orang yang kusayang. Karena aku ingin menikmati
indahnya langit setelah hujan bersama dia yang kucintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar