Minggu, 24 November 2013

Antara Kita dan Hujan

Hujan punya cerita tentang kita. Hujan mengerti tentang betapa aku merindukanmu, betapa aku mengharapkanmu kembali ke sampingku. Dan hujan pula yang tahu seberapa besar aku merindukan kisah denganmu.
“Dit, kamu tau Ara mau pindah?” pertanyaan Regi spontan membuatku kaget.
“Nggak lucu tau bercandamu,” kataku.
“Serius Dit, dia mau pindah ke Palembang. Aku aja baru tau dari Rena tadi. Katanya lusa dia berangkat,” Regi mencoba meyakinkanku.
‘Kok dia nggak cerita sama aku yah?’ Tanyaku pada diri sendiri.
“Thanks ya Gi infonya, aku mau ke rumah Ara dulu,” Aku kemudian bergegas mengayun kencang sepedaku ke salah satu sudut di kompleks perumahan itu. Tujuanku cuman satu, menanyakan kebenaran kepada Ara.
Aku dan Ara sudah kenal dekat sejak kecil. Kemanapun kami selalu bersama. Bisa dibilang kami tak bisa terpisahkan. Dimana ada Ara di situ juga ada aku, begitu pun sebaliknya. Aku tak pernah membiarkan anak-anak kompleks yang nakal itu mengganggu Ara. Aku hanya ingin melindunginya, dimana pun dia berada. Bahkan orang tuaku dan orang tua Ara sangat senang dengan keakraban kami. Ayah dan Ibu Ara selalu mempercayai keselamatan anaknya padaku. Saat mereka sedang dinas ke luar kota, Ara selalu menginap di rumahku. Ibuku pun senang dengan kehadiran Ara di hidup kami. Maklumlah, selama ini dia mendambakan anak perempuan. Setelah ada Ara, ibuku selalu menganggap bahwa dia adalah bagian dari keluarga kami, sebagai adikku tentunya.
“Araa,” panggilku sembari menyandarkan sepedaku di tembok rumahnya.
Aku langsung masuk ke rumah tanpa permisi. Yaa, ini sudah seperti rumah keduaku. Orang tua Ara juga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri, terlebih setelah ayahku meninggal, ayah Aralah yang menggantikan sosok ayahku.
“Kenapa Dit?” kudengar suara dari belakang rumahnya. Kualihkan tujuanku ke taman di belakang rumah Ara.
“Jelasin, apa yang kamu sembunyiin dari aku?” tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya.
“Sembunyiin apa sih Dit? Aku nggak sembunyiin apa-apa,” terlihat ekspresi Ara mulai berubah.
“Kamu mau pindah kan? Iya kan? Kenapa kamu nggak mau ngomong ke aku sih Ra?”
“Maaf Dit,” Ara menunduk. Perlahan kulihat air mata membasahi wajahnya. “Maaf..”
Aku berjalan menghampirinya. Kunaikkan wajahnya yang masih menunduk. Kuseka airmata yang mengalir di pelupuk matanya. Tak tega aku melihatnya menangis, apalagi untuk melukai perasaannya.
“Maaf, aku udah bikin kamu nangis. Aku cuman nggak mau kamu bohong sama aku,” Ara memelukku. Aku terdiam.
“Maafin aku Dit, aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku cuman takut aku nggak bisa ninggalin kamu,”
“Tapi Ra. Aku bakal jauh lebih sedih kalau disaat terakhir sahabatku di samping aku, justru aku nggak ngasih kenangan manis buat dia. Udah yaa, jangan nangis lagi,”
Terlihat awan mendung mulai menyelimuti langit. Titik demi titik air mulai berjatuhan membasahi bumi. Semakin deras. Kuajak Ara untuk memasuki rumah.
“Ujan Ra, masuk yuk,”
“Nggak mau ah Dit, udah lama kita nggak ujan-ujanan. Aku pengen ngelewatin hujan ini bareng kamu. Belum tentu kan kita bisa bareng kayak gini lagi?”
“Yaudah yuk aku temenin,”
Kami berlari menerjang hujan. Bermain-main bersama percikan hujan. Terlihat Ara tertawa tanpa beban, ‘ah aku pasti akan sangat merindukan tawanya,’ gumamku. Yaa, kita sama-sama menyukai hujan. Mencintai setiap titik yang terlahir dari awan mendung.
***
Sebelum matahari mulai menampakan wujudnya, aku telah duduk di halaman rumah Ara. Hari ini saatnya aku dan dia berpisah. Aku tak ingin melewatkan waktu berharga dengan sahabatku.
“Mau kemana kita hari ini?” tanya Ara bersemangat.
“Ke trampolin aja yuk,”
“Okee, ayo kita cabut,” Ara berlari meninggalkanku.
Aku dan Ara duduk di atas trampolin. Kita sama-sama terdiam. Masih dengan lamunan masing-masing. Tiba-tiba suara Ara mengagetkanku.
“Nyanyiin aku lagu dong Dit,”
“Males ah,”
“Tega nih? Ayolah,” bujuk Ara.
“Iya deh, aku ambil gitar dulu ya,”
Aku berlari memasuki rumah. Tak berapa lama aku kembali dengan gitar ditanganku.
Berjanjilah wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku
Tetaplah tersenyum
Meski hati, sedih dan menangis
Kuingin kau tetap tabah menghadapinya
Terputar kembali kenangan-kenangan indah bersama Ara. Semua kisah sedih dan senang yang kita lewati bersama.
Bila kau harus pergi
Meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku...
Semua waktu yang telah kita lewati berdua. Canda dan tawanya. Senyum dan tangisnya. Aku pasti akan sangat merindukannya.
Semoga dirimu di sana
Kan baik-baik saja
Wahai sahabatku
Di sini aku kan selalu
Rindukan dirimu
Wahai sahabatku....
Aku terdiam. Kulihat butir halus muncul perlahan di pelupuk matanya.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku.
“Dit, tetep inget aku yaa,” ucap Ara lirih.
“Pasti lah. Aku bakal tetep inget sama kamu, sahabat sejatiku,”
Kuraih sebuah kotak yang terletak di sampingku. Kuberikan kotak kecil itu untuk Ara.
“Nih, aku ada kenang-kenangan buat kamu, biar kamu inget aku terus,”
“Liontin?” tanya Ara heran, setelah dia membuka hadiahku.
“Iya, ini sepasang. Pasangannya ada di aku. Biar kita yakin kalo suatu saat nanti kita bakal ketemu lagi. Aku pakein ya?” ucapku. Ara mengangguk.
“I will miss you so much Radit,” Ara menunduk sedih.
“Me too Ara. Jaga diri baik-baik yah,”
Diiringi dengan hujan, perpisahan pun tak terelakan. Ara telah pergi meninggalkan aku dan semua tempat kenangan kita.
“Aku pasti bakal balik lagi ke sini, tungguin aku yah..” teriak Ara dari kejauhan. Aku hanya tersenyum. Raganya kini tak lagi bersamaku. Aku dan dia kini telah terpisah.
Awan hitam masih terus muncul, membuat sang bintang tak juga menampakkan sinarnya. Aku masih duduk melamun di trampolinku. Membiarkan hujan mengguyur ragaku.
“Radit ayo masuk nak, mau sampai kapan kamu di sini?” Suara di belakangku mengagetkanku.
“Mah, Radit nggak bisa pisah dari Ara,”
“Udah nak, kalo Tuhan ijinin pasti kalian ketemu lagi. Ayo masuk, kamu udah basah kuyup nih,”
“Iya mah,”
***
3 tahun berlalu. Kini aku duduk di bangku SMA, di salah satu sekolah ternama di kotaku.
Aku tumbuh menjadi pemuda yang cuek. Tak peduli dengan gaya hidupku, aku tetaplah nyaman dengan apa yang ada didiriku. Tak pernah ada yang mengusik hariku, hingga seseorang datang mengubah kehidupan tenangku.
Koridor sekolah nampak lengang, aku masih terus berlari menyusurinya. Jam pertama di kelasku sekarang adalah Matematika, dan aku sukses berangkat terlambat karena semalaman insomniaku kambuh. Semenit saja aku terlambat masuk kelas, habislah kesempatanku mengikuti pelajaran itu, karena sang guru sangat disiplin soal waktu.
Brukk. Seseorang menabrakku. Aku langsung bangkit dan berniat lari menuju kelas, namun terhalang oleh perbuatan orang yang menabrakku itu.
“Seenaknya aja kamu main pergi-pergi. Udah nabrak bukannya minta maaf malah kabur!”
“Brisik loe! Gue lagi telat nih. Salah loe sendiri jalan nggak liat-liat!” bentakku.
“Kamu tuh yang main nabrak-nabrak aja!”
“Minggir loe! Gue udah telat nih!”
“Nggak mau! Minta maaf dulu!”
“Yaudah gue minta maaf, minggir!” Aku langsung lari meninggalkan orang tersebut. Sial! Umpatku dalam hati. Pasti aku tak bisa mengikuti pelajaran pagi ini. Gara-gara ulah orang itu.
Namun dewi fortuna sedang berpihak padaku. Sampai di kelas tak terlihat tanda-tanda guru killer itu berada di kelas. Kulangkahkan kaki menuju bangkuku.
“Kemana aja loe? Jam segini baru nongol. Untung tuh guru belum masuk,” ucap salah seorang temanku.
“Insomnia gue kambuh nih. Mana tadi acara tabrakan sama orang gila lagi!”
“Siapa Dit?” tanyanya lagi.
“Tau tuh. Anak baru kali,”
“Cewek apa cowok?”
“Cewek,”
“Cantik nggak?”
“Kepo banget sih loe!” bentakku kesal.
Sesaat kelas hening, setelah wali kelasku memasuki ruangan. Terlihat di belakangnya seorang gadis yang kutabrak tadi. Sial! Umpatku lagi. ‘Kenapa harus sekelas sama dia sih?’ tanyaku dalam hati.
“Hallo semua. Namaku Tiara Natasya. Aku pindahan dari Palembang, salam kenal,”
Deg. Mendadak aku terdiam setelah gadis itu memperkenalkan diri. Tiara?  Dari Palembang? Ingatanku memutar pada sosok di masa laluku. Sahabat kecilku. Mungkinkah dia?
Hujan mencegahku untuk meninggalkan sekolah. Aku memang sudah tak menyukai hujan semenjak seseorang meninggalkanku saat hujan. Kulihat Tiara bersandar di tembok sambil menengadahkan tangannya. Kuhampiri dia.
“Kamu lagi kamu lagi, males ngeliat!” ucapnya.
“Yee, siapa juga yang seneng ngeliat loe!” gerutuku.
“Yaudah sana pergi!”
“Loe aja sana! Gue ogah! Lagi ujan gede gini juga,” Tiara justru langsung berjalan diantara rintik hujan yang turun kian deras. Aku kaget. Nekad benar dia.
***
Sebulan sudah Tiara menjadi siswa baru. Rasa penasaranku tentang Tiara di masa lalu makin memuncak saat aku tak sengaja melihat kalung yang dia pakai.
“Ra, kalungnya bagus,” celetukku.
“Apa sih? Nggak usah cari gara-gara deh,”
“Gue cuman mau nanya loe beli dimana?”
“Ngapain nanya-nanya? Ini tuh nggak bakal bisa loe dapetin dimana pun!” Setelah mengatakan itu, Tiara bergegas meninggalkanku.
“Gue yakin dia pasti Ara,” ucapku.
Hujan terus mengguyur Jakarta seharian ini. Lagi-lagi aku enggan beranjak dari tempatku sampai hujan berhenti.
“Mau sampai kapan loe di sini? Hujan kayak gini pasti bakalan awet,” aku mencari sumber suara itu berasal.
“Tiara? Emm.. Sampai hujannya berhenti lah,” ucapku sambil mengalihkan pandangan ke arah rintik hujan.
“Udah gue bilang kan, hujannya bakalan awet. Mending ujan-ujanan aja sama gue,” ajak Tiara.
“Ogah. Gue males kena air ujan. Lagian kenapa sih loe tiba-tiba baik gitu sama gue?” tanyaku penuh selidik.
“Pede loe! Gue cuman nggak mau aja ngeliat loe lama-lama di sini!” Tiara lagi-lagi berlari menerobos hujan.
“Sebenernya siapa sih dia? Kok tiap gue ngeliat dia gue jadi inget Ara yah?”
***
Kulangkahkan kakiku menuju kantin, rasa lapar ini sudah hampir mencapai puncaknya. Namun, langkahku terhenti saat aku melihat kerumunan siswa di lapangan.
“Ada apa sih? Kok rame gitu?” tanyaku pada salah seorang siswa.
“Ada yang pingsan. Tiara,”
“Tiara?” ulangku tak percaya. Kuterobos kerumunan itu hingga kudapati seseorang yang dimaksud. Yaa, memang Tiara yang pingsan. Spontan aku langsung membawanya ke UKS.
Sejam berlalu. Tiara tak kunjung sadarkan diri. Sesuai saran dokter, usai insiden tadi dia langsung dibawa ke Rumah Sakit. Entah kenapa aku menawarkan diri untuk menunggunya. Seperti ada perasaan yang mengganjal setiap aku melihatnya.
Hujan terus turun dengan derasnya bersamaan dengan Tiara yang mulai sadarkan diri.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku khawatir.
“Kamu?” Tiara nampak bingung.
“Iya aku, Radit. Tadi kamu pingsan di sekolah, terus di bawa ke sini deh. Sebenernya kamu sakit apa sih?”
Beberapa saat Tiara diam. Namun aku tetap menunggu dia memulihkan kondisinya. Kupandangi dia, sampai lagi-lagi aku teringat pada satu sosok di masa laluku itu.
“Dulu aku emang sakit. Gagal ginjal. Tapi sekarang udah nggak kok,”
“Kok bisa?”
“Sebulan yang lalu ada orang tua yang baik banget ngasih ginjal anaknya buat aku. Dan untungnya tubuh aku bisa nerima ginjal itu,”
“Kok bisa ngasih sih?”
“Iyaa. Anaknya sendiri yang bilang, kalo dia meninggal dia mau donorin apa yang ada di tubuhnya buat orang yang ngebutuhin,”
“Berarti yang donorin itu udah meninggal?”
“Yap. Dia sakit nggak taulah apa namanya, aku lupa. Kita sempet satu rumah sakit, dia sendiri yang minta ke orang tuanya buat ngasih ginjalnya ke aku. Oh ya, dia juga dimakamin di Jakarta kok, soalnya dia asli sini,”
“Apa kamu bilang? Dia asli Jakarta?”
“Iya. Emang kenapa?” tanya Tiara bingung.
“Namanya siapa?”
“Sama kayak aku. Tiara, tapi panggilannya Ara,”
“Nggak mungkin. Jangan kamu bilang dia Tiara Azizah?” tanyaku tak percaya.
“Iyah. Kamu kenal?” Tiara tampak bingung.
“Aku...aku...aku sahabatnya,” ucapku terbata-bata.
“Jadi...Kamu Radit yang selama ini Ara ceritain?” tanya Tiara tak percaya.
“Cerita apa?” tanyaku heran.
“Banyaklah. Yang jelas katanya kamu itu berarti banget buat dia,”
Ruangan itu kembali hening. Aku tak percaya, sahabat yang selama ini kunantikan, kutunggu kedatangannya kembali, nyatanya takkan pernah muncul lagi dihadapanku.
Pantas saja setiap aku melihat Tiara bayang-bayang Ara selalu hadir. Ginjal itu, yaa ginjal milik Ara lah yang selalu membuatku melihat Tiara sebagai bayangan Ara.
***
Aku tertunduk lemah, masih memandangi pusara yang mulai kusentuh. Kuraba nisan yang ada di depanku. Kurasakan gundukan tanah yang sedikit basah ini. Di dalam sini, di tempat ini, orang yang sangat berarti dihidupku terlelap.
“Radit,” panggil seseorang di belakangku.
“Tiara?”
“Aku mau ngasih ini buat kamu,” Tiara memberikan sepucuk surat untukku.
Kuraih surat itu, kubaca. Butir-butir airmata mulai mengalir. Tangis yang selama ini tak pernah kuperlihatkan lagi semenjak kepergian Ara 3 tahun yang lalu, kini memecah saat aku membaca kata demi kata yang tertulis di surat itu.
Dear Radit,
Apa kabar? Aku yakin surat ini pasti bakal sampai ke tangan kamu dengan selamat, tanpa ada lecet sedikitpun. Bener kan? :D
Waktu kamu baca surat ini, bisa aku pastiin kalo aku udah nggak ada di sisi kamu lagi. Yaa, sekarang pasti ada Tiara di deket kamu kan? Anggep aja itu aku ya J
Maaf Radit, aku dateng tanpa ragaku bahkan jiwaku, aku dateng cuman dengan surat ini. Hidupku udah berakhir Dit, Tuhan udah manggil aku buat pulang lagi ke sisiNya. Kuatin diri yaa. Maaf aku nggak bisa tepatin janji aku buat bareng lagi sama kamu, tapi sekarang aku bawain Tiara buat kamu. Dia sama kok sama aku, sama-sama Tiara J
Maaf juga ya, aku nggak pernah cerita apa pun tentang penyakitku. Bahkan sampai sekarang pun aku juga nggak mau kamu tau apa yang aku rasain. Yang jelas aku sakit, sakit parah kata dokter. Aku harus terus-terusan kemoteraphy. Selama ini aku diem karena aku nggak mau bikin kamu tambah sedih Dit. Aku pengen kamu ngeliat aku sebagai Ara yang kuat, semangat, dan sehat.
Dari dulu sebenernya ada satu hal yang mau aku omongin sama kamu, yaa tapi nggak pernah bisa aku omongin karena aku sadar aku nggak akan bertahan lama di dunia ini. Aku sayang kamu, lebih dari sayang seorang sahabat. Sekali lagi aku minta maaf, buat semua kebohongan yang aku buat ke kamu.
Titip Tiara ya Dit. Jaga dia seperti kamu jaga aku. Sayangi dia seperti kamu sayangi aku.
Peluk cium, Ara
Tik tik tik. Awan kembali menghitam. Memunculkan kesedihannya kembali. Walau pun awan mulai menangis, aku masih enggan beranjak dari tempat ini. Aku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi.
“Ayolah Radit, sampai kapan kamu di sini? Hujan makin deras nih,”
“Sorry Ra,” aku tersadar. Aku mulai beranjak dari tempat itu. Meninggalkan rumah terakhir Ara.
***
Hujan. Menyimpan banyak cerita tentang kita. Tentang aku, Ara dan Tiara. Hujan yang memisahkanku dengan Ara. Hujan yang pertemukanku dengan Tiara. Hujan yang kembalikan Ara padaku, walau pun tanpa raganya. Hujan pulalah yang satukan aku dengan Tiara.
 “Tuh kan ngelamun lagi!” Tiara setengah berteriak di dekatku.
“Eh iya iya, hehe,”
“Dit Dit liat deh ada pelangi,” Tiara menunjuk ke arah langit.
“Oh iya, bagus ya?”
“Pastinya. Selalu ada pelangi setelah hujan dan selalu ada cerita tentang kita dibalik hujan,”
“Dan aku nggak akan biarin hujan menghapus cinta kita,” ucapku, kemudian mengacak rambut Tiara.
“Rrrraaaddiiiiiittttttt....” teriak Tiara. Aku bangkit dan berlari menjauh dari jangkauan Tiara.
Kini tawalah yang tercipta. Cintalah yang terasa. Terima kasih hujan, karena kau telah hadirkan cinta di hidupku.

Aku tak pernah berharap banyak pada hujan. Yang aku minta hanya jangan sampai hujan pisahkan lagi aku dengan orang yang kusayang. Karena aku ingin menikmati indahnya langit setelah hujan bersama dia yang kucintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar